Menggapai Kemuliaan Dengan Tawadhu
MENGGAPAI KEMULIAAN DENGAN TAWADHU
Sabda Rasûlullâh صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
مَا مِنْ آدَمِيْ إلاَّ فِيْ رَأْسِهِ حَكَمَةٌ بِيَدِ مَلَكٍ فَإِذَا تَوَاضَعَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ ارْفَعْ حَكَمَتَهُ وَإِذَا تَكَبَّرَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ ضَعْ حَكَمَتَهُ.
Tidak ada seorang bani Adam kecuali ada dikepalanya hakamah (seperti tali kekang kuda) ditangan seorang malaikat. Jika dia bertawadhu (rendah diri) maka dikatakan kepada malaikat tersebut: angkat hakamahnya dan jika sombong dikatakan kepada malaikat tersebut: pakaikan hakamahnya.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu oleh Imam ath Thabraniy dalam al Mu’jam al Kabîr 3/182/1. Pada sanadnya ada Ali bin Zaid bin Jud’ân seorang perawi yang memiliki sedikit kelemahan dalam hafalannya, sebagian ulama masih menganggap baik atau hasan haditsnya. Demikian juga al Hâkim rahimahullah meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang sama dalam al Mustadrak 2/591. Adz Dzahabiy rahimahullah berkata: “Sanadnya baik”. Al Haitsamiy rahimahullah dalam Majma’ Zawâ’id 8/82 berkata: “Diriwayatkan oleh at Thabraniy dan sanadnya hasan”. Demikian juga Imam al Mundziriy rahimahullah dalam at Targhîb 4/16 menghasankan sanad hadits ini. Al Uqailiy rahimahullah dalam adh Dhu’afa’ no. (427), Ibnu Adi rahimahullah dalam al Kâmil 2/322 dan adh Dhiya’ rahimahullah dalam al Muntaqâ Min Masmu’âtihi Bi Marw meriwayatkan dari al Minhâl bin Kholîfah dari Ali bin Zaid bin Jud’ân dari Sâid bin al Musayyib dari sahabat Abi Hurairah Radhiyallahu anhu. Syeikh al-Albâni rahimahullah menilai hadits ini sebagai hadits hasan lighairihi dalam kitab Shahih At-Targhib Wa Tarhib no. 2895 dan Silsilah Ahadits Shahihah no. 538.
SYARAH KOSA KATA
مَا مِنْ آدَمِيْ : Tidak ada seorang manusia pun.
إلاَّ فِيْ رَأْسِهِ حَكَمَةٌ : Kecuali ada di kepalanya tali kekang yang biasa dipakaikan ke kepala hewan dan mulutnya
بِيَدِ مَلَكٍ : Bermakna di tangan Malaikat yang ditugaskan untuk itu
فَإِذَا تَوَاضَعَ : Apabila bersikap tawadhu atau rendah hati
قِيْلَ لِلْمَلَكِ : Allâh Azza wa Jalla sampaikan kepada Malaikat tersebut
رْفَعْ حَكَمَتَهُ : Kinâyah dari ketinggian kedudukan dan kehormatan.
وَإِذَا تَكَبَّرَ قِيْلَ لِلْمَلَكِ ضَعْ حَكَمَتَهُ : Kinâyah dari kerendahan, karena sombong termasuk sifat rendah dan hina.
SYARAH HADITS
Tidak ada satu tujuan di dunia ini kecuali manusia berusaha mendapatkannya. Mereka dikendalikan oleh kecintaan untuk memuaskan tabiat mereka. Terkadang mereka dalam menunaikannya tidak melihat perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla . Timbullah setelah itu kerusakan, penyimpangan dan berbagai macam kemaksiatan.
Kemudian Allâh mengutus para rasul yang menyeru tauhid kepada mereka. Mereka mengajak manusia untuk berakhlak mulia, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.[1]
Berbahagialah mereka yang mengikuti petunjuk para rasul dan celakalah orang yang menyelisihi dan meninggalkannya.
Diantara akhlak para rasul dan nabi yang menjadi perhiasan orang-orang shaleh adalah tawaadhu (rendah hati). Demikianlah Allâh perintahkan nabi-Nya Muhammad n untuk bertawadhu dalam firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. [Al-Hijr/15:88]
Bahkan rendah hati menjadi sifat khusus kaum Mukminin, sebagaimana difirmankan Allâh:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [Al-Furqân/25:63]
Hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang mulia ini menjelaskan keutamaan sifat tawâdhu’, semakin rendah hati semakin tinggi kedudukan dan kemuliannya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Tidaklah seorang bersifat rendah hati (Tawâdhu’) karena Allâh, kecuali Allâh mengangkatnya. [HR Muslim].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini mempunyai dua makna:
Pertama: Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam hati hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajatnya di mata manusia.
Kedua: Pahala di akhirat, yakni Allâh Azza wa Jalla akan mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di dunia[2]. Oleh karena itu Ibnul Hâj rahimahullah menyatakan: Siapa yang menginginkan ketinggian, maka hendaknya bersifat rendah hati (tawadhu’).[3]
Kemuliaan yang didapatkan dari sifat tawadhu’ dikarenakan beberapa hal, diantaranya:
1. Tawadhu’ adalah akhlak para nabi dan Rasul.
2. Semua orang menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Tawadhu’ dapat mendatangkan rasa cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Dan sesungguhnya Allâh mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” [HR. Muslim no. 2865].
3. Menjalankan perintah Allâh dalam firmanNya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. [asy-Syu’ara/26: 215]
Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata: “Maksudnya adalah tawadhu’, karena orang yang sombong melihat dirinya bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan merendahkan diri terhadap orang-orang beriman yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” [4]
4. Tawâdhu’ adalah Perangai Ibadurrahmân, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [al-Furqân/25:63]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: “Firman Allâh Azza wa Jalla berjalan di atas bumi dengan rendah hati yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh dengan ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong.” [5]
Dengan demikian sudah selayaknya bagi setiap Muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’.
MAKNA DAN HAKEKAT TAWADHU’
Tawâdhu’ merupakan kebalikan dari sifat sombong. Ia merupakan sifat pertengahan antara sombong dan rendah diri. Jika sombong telah mengakibatkan setan diusir dari surga dan menjadi makhluk terlaknat, maka Tawâdhu’ berhasil menjadikan Adam dan Istrinya sebagai manusia yang diampuni setelah keduanya melakukan dosa.
Satu di antara banyaknya indikator sifat Tawâdhu’ seseorang adalah kemauan untuk mengakui kesalahan dirinya. Jika ia seorang suami, satu di antara banyaknya tanda sifat Tawâdhu’nya adalah kerelaannya untuk membantu tugas rumah seorang istri. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa membantu pekerjaan rumah istrinya saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah dan keluar rumah ketika tiba waktunya shalat.
Ditanya Fudhail bin Iyadh rahimahullah tentang tawâdhu’ beliau menjawab, “Tunduk dan patuh kepada kebenaran, menerima kebenaran dari siapapun yang menyampaikannya, walaupun mendengarnya dari anak kecil. Dan seandainya menerima dari orang yang paling bodohpun dia menerimanya!”[6].
Ditanya al Hasan al Bashri rahimahullah tentang tawâdhu’ beliau menjawab: “Tawâdhu’ adalah kamu keluar rumah dan tidak berjumpa Muslim kecuali kamu menganggapnya lebih baik darimu.[7]
Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hakikat tawâdhu’ dan memberikan penjelasan perbedaannya dengan menghinakan diri (al-Muhânah) dengan menyatakan: Perbedaan antara tawâdhu’ dan al-Muhânah (menghinakan diri) adalah Tawâdhu’ muncul dari ilmu pengetahuan tentang Allâh Azza wa Jalla , mengenal nama dan sifat-Nya, pengagungan, kecintaan dan penghormatannya dan dari pengetahuan tentang dirinya dan jiwanya secara rinci serta aib-aib amalan serta perusaknya. Muncullah dari ini semua sifat tawâdhu’. Tawâdhu’ adalah hati yang merendah karena Allâh Azza wa Jalla dan rendah hati serta penuh rahmat kepada hamba-Nya, sehingga tidak memandang dirinya memiliki kelebihan atas seorangpun dan tidak memandang ia memiliki hak atas orang lain. Bahkan memandang kelebihan orang-orang atas dirinya dan hak-hak mereka atasnya. ini adalah sifat yang hanya Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang dicintai, dimuliakan dan didekatkan kepada-Nya.[8]
Tawâdhu’ memiliki 3 ciri.
Pertama, Ia dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan, kekuatan serta peluang untuk berlaku sombong, tetapi ia tidak bersikap sombong karena mengharap keridhaan Allâh.
Kedua, Tidak dilakukan secara berlebihan. Jika berlebihan, Tawâdhu’ bisa berubah menjadi sombong ataupun membanggakan diri.
Ketiga, Tawâdhu’ dilakukan pada waktu dan situasi yang tepat. Dalam hal ini, diperbolehkan berlaku sombong di depan orang yang sombong. Sebagaimana sikap berjalan tegap dengan gagah di depan musuh dalam peperangan.
LARANGAN BERSIKAP SOMBONG
Hadits yang mulia ini menunjukan larangan sombong yang tidak disukai Allâh Azza wa Jalla dan Malaikat. kesombongan sifat rendah dan hina yang menyebabkan pemiliknya terhalang masuk ke dalam surga seperti dijelaskan dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
Tidak masuk surga orang yang memiliki dihatinya sebesar biji sawi dari kesombongan (HR Muslim).
Sifat sombong adalah lawan dari sifat rendah hati, sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbâs z ini menganjurkan sifat rendah hati dan memperingatkan umatnya dari sifat tinggi hati atau sombong. Sehingga seorang muslim hendaknya berusaha sekuat tenaga menjauhi sifat tinggi hati ini.
Wabillahit Taufiq.
FAEDAH HADITS.
Diantara faedah hadits ini adalah:
- Anjuran bersikap rendah hati
- Rendah hati adalah sifat para Nabi dan Rasul dan hamba Allâh Azza wa Jalla yang terpilih.
- Allâh Azza wa Jalla memberi tugas malaikat untuk menjaga tali kekang di setiap bani Adam dan mengangkatnya bila manusia bersikap rendah hati dan menariknya ketika bersikap sombong.
- Keutamaan sikap tawâdhu’
- Larangan bersikap sombong.
- Sombong membawa kesengsaraan dan rendah hati membawa kemuliaan.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Hadits Shahih Lighairi, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam al Adâb al Mufrâd hal 42, Ahmad 2/381, Al Hâkim 2/613, Ibnu Sa’ad dalam Thabaqât 1/192, Al Qudhâ’iy dalam Musnad asy Syihâb 1165 dan al Kharâ`ithiy dalam Makârimul Akhlak Wa Ma’âliha hal 2. (Takhrij ini dinukil dari Makârimul Akhlâk karya Syeikh Sâlim bin Ied Al Hilâli)
[2] Syarah Shahih Muslim 16/143
[3] Al-madkhol Libnil Hâj 2/122
[4] Syarah Riyâdhus Shâlihîn 3/515
[5] Madârijus Sâlikîn 2/375
[6] Madarij as-Sâlikin 2/329
[7] At-Tawadhu’ wal Khumul hlm 154 dan Ihya Ulumuddin 3/342).
[8] Kitab ar-Rûh hlm 273).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10998-menggapai-kemuliaan-dengan-tawadhu.html